Suku Dayak Punan di Desa Metun Sajau Tidak Miliki KTP
Puluhan Anak Tidak Bisa Sekolah
2012-04-24 18:28:00
TANJUNG
SELOR, Ratusan warga Suku Dayak Punan yang tinggal di sekitar Desa Metun
Sajau Kecamatan Tanjung Palas Timur Kabupaten Bulungan, nampaknya
kurang mendapat perhatian Pemerintah.
Pasalnya, selain kehidupan sehari-hari yang sangat memprihatinkan, status sosial Suku Dayak Punan jauh tertinggal dibandingkan warga Bulungan lainnya. Terbukti dari banyaknya orang Punan yang tinggal di sekitar desa tersebut tidak memiliki Kartu Keluarga (KK) maupun Kartu Tanda Penduduk (KTP). Akibatnya, puluhan anak suku dayak Punan itupun kesulitan untuk bisa sekolah karena tidak memiliki Akta Kelahiran.
Ironisnya, kondisi ini telah terjadi sejak puluhan tahun lamanya secara turun temurun, padahal Desa Metun Sajau tersebut hanyalah berjarak sekitar 57 kilometer dari kota Tanjung Selor yang melewati jalan Trans Kaltim Tanjung Selor-Berau.
Salun, salah satu tokoh masyarakat Dayak Punan yang ditemui Poskota Kaltim beberapa waktu lalu di desa Metun Sajau tersebut mengungkapkan, keterbelakangan orang Punan ini disebabkan kehidupan sosial mereka yang dulunya belum mau berbaur dengan kelompok warga lainnya, sehingga orang Dayak Punan cenderung memilih untuk tinggal di dalam gua dan hutan yang dilakukan secara berpindah-pindah.
“Sekitar 50 sampai 70 Kepala Keluarga suku Dayak Punan yang ada di sekitar desa kami ini, termasuk yang tinggal di dalam hutan semuanya tidak memiliki Kartu Keluarga (KK) maupun Kartu Tanda Penduduk (KTP), sehingga sangat menyulitkan orang Punan untuk meningkatkan status sosial ekonomi hingga dapat hidup layak seperti warga lainnya. Ini terbukti dari sulitnya kami ingin mendapatkan status hukum yang sah atas apa yang kami miliki ini,” ungkap Salun yang mengaku menjadi bapak angkat dari 60 KK suku Punan di Desa Sajau Metun yang tinggal di dalam hutan.
Ketua RT ini pun menjelaskan bahwa keinginannya untuk memperjuangkan hak warga suku Punan yang tinggal di sekitarnya, telah ia perjuangkan sejak tahun 2003 lalu, diantarnya telah mengajukan permohonan bantuan kemudahan pembuatan KTP, pembangunan rumah ibadah serta sekolah yang disampaikan melalui Pemerintah Desa (Pemdes) maupun ke pihak kecamatan.
Namun usulan tersebut nampaknya masih dianggap sebelah mata oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bulungan.
“Hingga saat ini perhatian pemerintah yang baru kami dapatkan hanya berupa Bantuan Beras untuk orang Miskin (Raskin) seberat sekitar 250 kilo yang kami terima sejak 5 bulan yang lalu setelah itu hingga saat ini bantuan seperti itu tidak pernah lagi kami terima sehingga untuk kebutuhan pangan kami masih bergantung dengan apa yang ada di dalam hutan” jelas Salun di damping kerabat dan keluarganya.
Salun menegaskan munculnya keinginan warga untuk memiliki KTP serta Kartu Keluarga di sebabkan karena maraknya pembebasan lahan yang dilakukan pihak Investor dan Pemerintah untuk di jadikan areal perkebunan dan tambang tanpa memperhatikan keberadaan suku Dayak Punan di sekitar lokasi tersebut sehingga mereka tergusur dan tinggal semakin jauh ke dalam Hutan.
“Pemerintah masih tutup mata dan terkesan tidak peduli dengan kehidupan kami selama ini, bukti lain selama ini selain masalah kesehatan, anak-anak kami pun ada sekitar 50-an dengan usia beragam yang tidak bisa sekolah dengan alasan dari pemerintah karena tidak memiliki Akta Kelahiran. Nah, kalau pemerintah sudah mengetahui keadaan seperti ini, seharusnya pemerintah bisa mencarikan solusi penyelesaiaannya agar anak-anak kami ini bisa sekolah, setidak-tidaknya bisa menulis dan membaca,” tutur Salun.
Salun berharap agar Pemerintah Kabupaten Bulungan bisa segera mengatasi permasalahan yang kini di hadapi warganya, sehingga kehidupan orang Punan yang selama ini masih diprimitifkan dapat berubah dengan baik, terutama kehidupan anak-anak suku Dayak Punan yang sangat membutuhkan pendidikan demi masa depannya. vic
Pasalnya, selain kehidupan sehari-hari yang sangat memprihatinkan, status sosial Suku Dayak Punan jauh tertinggal dibandingkan warga Bulungan lainnya. Terbukti dari banyaknya orang Punan yang tinggal di sekitar desa tersebut tidak memiliki Kartu Keluarga (KK) maupun Kartu Tanda Penduduk (KTP). Akibatnya, puluhan anak suku dayak Punan itupun kesulitan untuk bisa sekolah karena tidak memiliki Akta Kelahiran.
Ironisnya, kondisi ini telah terjadi sejak puluhan tahun lamanya secara turun temurun, padahal Desa Metun Sajau tersebut hanyalah berjarak sekitar 57 kilometer dari kota Tanjung Selor yang melewati jalan Trans Kaltim Tanjung Selor-Berau.
Salun, salah satu tokoh masyarakat Dayak Punan yang ditemui Poskota Kaltim beberapa waktu lalu di desa Metun Sajau tersebut mengungkapkan, keterbelakangan orang Punan ini disebabkan kehidupan sosial mereka yang dulunya belum mau berbaur dengan kelompok warga lainnya, sehingga orang Dayak Punan cenderung memilih untuk tinggal di dalam gua dan hutan yang dilakukan secara berpindah-pindah.
“Sekitar 50 sampai 70 Kepala Keluarga suku Dayak Punan yang ada di sekitar desa kami ini, termasuk yang tinggal di dalam hutan semuanya tidak memiliki Kartu Keluarga (KK) maupun Kartu Tanda Penduduk (KTP), sehingga sangat menyulitkan orang Punan untuk meningkatkan status sosial ekonomi hingga dapat hidup layak seperti warga lainnya. Ini terbukti dari sulitnya kami ingin mendapatkan status hukum yang sah atas apa yang kami miliki ini,” ungkap Salun yang mengaku menjadi bapak angkat dari 60 KK suku Punan di Desa Sajau Metun yang tinggal di dalam hutan.
Ketua RT ini pun menjelaskan bahwa keinginannya untuk memperjuangkan hak warga suku Punan yang tinggal di sekitarnya, telah ia perjuangkan sejak tahun 2003 lalu, diantarnya telah mengajukan permohonan bantuan kemudahan pembuatan KTP, pembangunan rumah ibadah serta sekolah yang disampaikan melalui Pemerintah Desa (Pemdes) maupun ke pihak kecamatan.
Namun usulan tersebut nampaknya masih dianggap sebelah mata oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bulungan.
“Hingga saat ini perhatian pemerintah yang baru kami dapatkan hanya berupa Bantuan Beras untuk orang Miskin (Raskin) seberat sekitar 250 kilo yang kami terima sejak 5 bulan yang lalu setelah itu hingga saat ini bantuan seperti itu tidak pernah lagi kami terima sehingga untuk kebutuhan pangan kami masih bergantung dengan apa yang ada di dalam hutan” jelas Salun di damping kerabat dan keluarganya.
Salun menegaskan munculnya keinginan warga untuk memiliki KTP serta Kartu Keluarga di sebabkan karena maraknya pembebasan lahan yang dilakukan pihak Investor dan Pemerintah untuk di jadikan areal perkebunan dan tambang tanpa memperhatikan keberadaan suku Dayak Punan di sekitar lokasi tersebut sehingga mereka tergusur dan tinggal semakin jauh ke dalam Hutan.
“Pemerintah masih tutup mata dan terkesan tidak peduli dengan kehidupan kami selama ini, bukti lain selama ini selain masalah kesehatan, anak-anak kami pun ada sekitar 50-an dengan usia beragam yang tidak bisa sekolah dengan alasan dari pemerintah karena tidak memiliki Akta Kelahiran. Nah, kalau pemerintah sudah mengetahui keadaan seperti ini, seharusnya pemerintah bisa mencarikan solusi penyelesaiaannya agar anak-anak kami ini bisa sekolah, setidak-tidaknya bisa menulis dan membaca,” tutur Salun.
Salun berharap agar Pemerintah Kabupaten Bulungan bisa segera mengatasi permasalahan yang kini di hadapi warganya, sehingga kehidupan orang Punan yang selama ini masih diprimitifkan dapat berubah dengan baik, terutama kehidupan anak-anak suku Dayak Punan yang sangat membutuhkan pendidikan demi masa depannya. vic
Mantap!
BalasHapusArtikel ini, sangat bagus.
belajar bukan untk menjadi seseorang melainkan utk bertahan hidup.jgn salahkan pemerintah! stop jual lahan,jgn mementingkan diri utk kita maju bersama.peduli lingkungan apa lg hutan.Ingat masa depan anak2,stidaknya cucu kita masi bisa melihat kehijauan hutan kita bersama.RT 5
BalasHapus